Kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% mulai Januari 2025 memicu reaksi negatif di media sosial. Sejumlah warga menilai kenaikan PPN akan mempengaruhi daya beli dan berdampak buruk terhadap pendapatan perusahaan yang berakibat pada gaji karyawan.
Saat mengumumkan kepastian kenaikan PPN dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu (13/11), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan keputusan ini sudah dipertimbangkan “demi APBN” dan “bukan membabi buta”.
Meski begitu, sejumlah ekonom mengkhawatirkan “efek turunan” dari rencana pemerintah itu di tengah daya beli masyarakat yang tengah menurun.
Adapun pengamat pajak menilai reaksi negatif publik menandai “masyarakat tidak percaya” kepada pemerintah kalau uang pajak yang mereka bayarkan “akan kembali ke masyarakat” dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial.
Kenapa PPN naik di Januari 2025?
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pertama kali mengatur mengenai tarif PPN sebesar 10%.
Besaran tarif ini kemudian dapat mengalami perubahan sesuai dengan peraturan pemerintah, dengan batas minimum 5?n maksimum 10%.
Ketentuan ini bertahan cukup lama meskipun Undang-Undang tersebut mengalami revisi pada tahun 2009.
Ketika menjabat presiden, Joko Widodo melakukan perubahan signifikan terhadap tarif PPN melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menurut UU HPP, tarif PPN dinaikkan secara bertahap. Mulai April 2022, tarif PPN ditetapkan sebesar 11%. Selanjutnya, pada tahun 2025, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12%.
Ketika PPN naik menjadi 11% pada tahun 2022, sambutan negatif dari masyarakat juga muncul.
Para pengamat ekonomi menyebut kenaikan PPN menjadi 11% itu tidak tepat di tengah tekanan hidup masyarakat sudah berat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Bagaimana tanggapan Ditjen Pajak?
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Dwi Astuti, mengatakan bahwa penyesuaian tarif PPN “berdiri sendiri” dan “tidak terkait dengan penyesuaian tarif pajak lainnya”.
Dwi Astuti juga menekankan pemerintah dan DPR sudah mengkaji dampak dari PPN 12% ini.
“Sebagai sebuah produk perundang-undangan, penyesuaian tarif PPN menjadi 12% merupakan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR yang tentu saja telah melalui kajian yang mendalam,” ujar Dwi kepada BBC News Indonesia pada Jumat (15/11) petang.
Direktorat Jenderal Pajak, imbuhnya, telah dan terus melaksanakan sosialisasi kepada wajib pajak terkait PPN 12% melalui berbagai kanal – antara lain melalui sosialisasi seminar dan media sosial.
sumber : bbc indonesia